Tuesday, October 4, 2016

TITIK KUNTA AWANGGA

ENDANG ADI SUTOMO, “ TITIK KUNTA AWANGA”

Menyimak karya Endang Adi Sutomo dalam pameran proses “ START LIGHT workshop & Exibition 2013” sekilas tak jauh berbeda dengan karya-karya sebelumnya. Bisa dikatakan karya-karya Endang erat kaitanya dengan cerita pewayangan. Biasanya cerita tersebut dikaitkan dengan fenomena yang terjadi saat ini. Disamping itu juga Ia ingin mengajak apresiator untuk mengenal cerita epik yang lekat dengan kesan Hindu klasik melalui objek lukiskannya serta ornamen-ornamen dekoratif klasik khas pewayangan yang divisualkan kedalam sebuah karya lukis kaca.

Lahir di Cirebon, 7 Januari 1992. Sekarang Endang tercatat sebagai mahasiswa jurusan Pendidikan Seni Rupa UPI Bandung. Pengalaman berpameran Endang diawali tahun 2011 di “Gatering Space” Cimahi, sebagai Juara 1 “Himasra Art Award” 2012 di Galeri popo Iskandar, “Art Edu Care #4” 2013 pameran seni rupa LPTK Se- Indonesia & Malaysia di Taman Budaya Surakarta (TBS), dan juara 3 “Himasra Art Award” 2013.

Wayang sudah menjadi bagian hidup Endang sejak kecil. Ini ditunjukan dengan kegemarannya membuat wayang dari bahan kardus. Endang mengenal cerita pewayangan dari membaca buku pewayangan.
Kegemarannya tersebut tak hanya dituangkan dalam bentuk wayang dari bahan kardus, akan tetapi dituangkan juga dalam bentuk karya lukis kaca. Ketertarikannya terhadap melukis di media kaca berawal saat Ia duduk di bangku Sekolah Menengah Atas. Ia mengenal lebih jauh tentang seni lukis kaca dari guru SMAnya. Dimulai dengan membuat lukisan yang sederhana, sampai akhirnya Endang memutuskan untuk konsisten menuangkan gagasan-gagasannya dengan berkarya seni lukis pada media kaca.

Seni lukis kaca, diakui atau tidak, sebenarnya telah menjadi sebuah kenyataan sejarah, yang lahir dan merambah dibelahan dunia kita ini, taruhlah seperti berkembangnya lukis kaca di Italia, daratan China, Jepang, Iran, India dan termasuk di Indonesia. Konon sejak abad ke 17 Masehi, Lukisan Kaca telah dikenal di Cirebon, bersamaan dengan berkembanganya Agama Islam di Pulau Jawa. Pada masa pemerintahan Panembahan Ratu di Cirebon, Lukisan Kaca sangat terkenal sebagai media dakwah Islam yang berupa Lukisan Kaca Kaligrafi dan berupa Lukisan Kaca Wayang. Adapun pengaruh cerita wayang berasal dari pertunjukan wayang yang diperagakan para wali untuk menyebarkan agama Islam. Kuatnya kepercayaan tokoh wayang yang baik, membuat seniman lukisan kaca selalu menampilkan tokoh seperti Kresna, Arjuna, Rama, Lesmana, dan lain-lain pada saat itu. Dewasa ini lukisan kaca tidak selalu menampilkan visual pewayangan saja, rupanya sekarang lukisan kaca hadir dengan rupa modern, sebut saja maestro lukis kaca yaitu Toto sunu yang terkenal dengan corak dekoratif modernnya. Dan seniman maestro Rastika yang konsisten dengan corak gaya dekoratif klasiknya. Tetapi disini Endang berusaha untuk mencari temuan teknik baru, walau penggayaan karya masih tergolong dekoratif klasik tetapi Endang mencoba untuk mengkombinasikan penggunaan dari segi alat dan bahan yang digunakan dalam kekaryaannya. Tentunya dengan menampilkan salah satu tokoh wayang yang akan mewakili gagasannya terhadap sub tema yang Ia pilih dengan tampilan visual karya yang berbeda dari karya sebelumnya.

Merujuk pada judul karyanya “Titik Kunta Awanga” dalam pameran proses ini, memiliki makna dari setiap asal katanya. Titik adalah sebuah pencapaian, pilihan atau pandang hidup seseorang. Kunta adalah nama sebuah senjata milik tokoh pewayangan Adipati Karna. Senjata tersebut memiliki simbolisasi terhadap kekuatan dalam hal pendidikan. Awangga adalah nama sebuah kerajaan yang disimbolisasikan dengan sebuah kekuasaan, kemasyarakatan atau kehidupan. Dari judul tersebut lebih menitik beratkan pada perwatakan tokoh antagonis yaitu Adipati Karna dalam cerita Mahabarata yang nantinya akan Endang tonjolkan dalam karya lukis kacanya kali ini. Interpretasinya terhadap tokoh Karna ini mengkritisi prilaku sebagian orang yang pada umumnya ketika merasa dirinya paling pintar dan berilmu tinggi, biasanya memiliki perasaan untuk ingin menguasai, baik dalam sebuah area masyarakat atau negara. Tapi mereka akan menggunakan ilmu tersebut malah ke arah kepentingannya sendiri. Seperti tokoh Adipati Karna yang menggunakan ilmunya untuk kepentingannya sendiri. Tentunya hal ini berkaitkan dengan pandangan Endang mengenai dimensi, idealisme dan egoisme sebagai fenomena sosial yang terjadi di Indonesia. Dalam beberapa konteks tak jarang mengambinghitamkan dunia pendidikan. Seperti pelaku korupsi, kekerasan, teroris yang ironisnya pelakunya adalah orang yang memiliki pendidikan yang tinggi dengan menyandang gelar-gelar tinggi pula. Jadi di manakah letak kesalahannya? Apakah pendidikanya? Atau pribadi itu sendiri? Disinilah Endang menjawabnya.

Dalam karya 100 cm x 100 cm, Endang Adi Sutomo memberikan makna kepada apresiator dengan objek-objek simbolisasi terhadap fenomena tersebut, Ia memberikan penekanan tokoh Adipati Karna dengan senjata kuntawijayandanu dilukiskannya tengah menghadap Ibunya dewi Kunti Nalibrata. Singkat cerita suatu hari Adipati Karna termenung dalam sebuah pilihan antara memilih pihak kurawa (antagonis) atau Dewi Kunti Ibunya dan para pandawa (protagonis) dikala meletusnya perang saudara (barathayuda). Sosok karna ini dari segi kepintaran dan pendidikan merupakan pahlawan yang memiliki sifat-sifat kompleks. Meskipun berada di pihak antagonis, namun Ia terkenal sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kesatria. Tapi pada akhirnya Karna memihak para kurawa karena Duryudanalah musuh utama para Pandawa yang telah memberikan kedudukan, harga diri dan perlindungan disaat dihina para Pandawa dulu. Dari sisi inilah terdapat sebuah nilai intisari bahwasanya dari pendidikan yang setinggi apapun, namun dari ke egoan tidak akan bisa lepas, hanya sebuah pilihan yang harus kita tentukan mau kejalan yang mana, mau ke arah titik mana yang akan kita pilih dan kita tempuh. Endang beranggapan terkadang yang benar sekalipun kalau sudah melihat harga diri, dan godaan akan kedudukan, pangkat, harta, orang bisa lupa diri.

Disana juga Endang menambahkan perlambangan lainnya seperti :

Watak Adigang adigung dan Adiguna dilukiskan dengan gambar sebuah naga yang memiliki kepala, hidung dan tanduk sebagai ciri kijang; telinga dan gading sebagai ciri gajah; badan dan ekor sebagai ciri ular. Artinya bahwa manusia hendaknya tidak mengandalkan dan menyombongkan kelebihan yang dia miliki. (Adigang: Kekuatan; Adigung: Kekuasaan; Adiguna: Kepandaian). Disebutkan bahwa sifat Adigang diwakili oleh "Kijang", Adigung oleh gajah, dan Adiguna oleh ular. Adapun andalan kijang, gajah dan ular adalah: watak si kijang yang sombong dengan kecepatannya melompat. Sedangkan gajah mengandalkan tubuhnya yang tinggi besar. Kemudian ular dengan bisanya yang mematikan saat Ia menggigit. Hal itu diibaratkan sebagai watak pada Karna, umumnya realita sendiri bagi manusia di alam ini terkadang mempunyai sifat demikian, yang sepatutnya perlu kita hindari dan hilangkan dari kita sebagai manusia yang tahu akan pendidikan.

Simbolisasi tokoh rakyat jelata yang melambangkan sebuah tokoh rakyat kecil, atau petani yang pasrah. Kita lihat pada realita sendiri banyak rakyat kecil sebagai korban dari para pemimpin, pejabat, orang-orang pintar dengan kepandaiannya dan skill orang berpendidikan yang bisa menghasut. Mereka pandai bermain dari segi politiknya untuk kepentingan pribadinya sendiri. Sama halnya dengan tokoh Karna yang hanya mengutamakan kepentingannya dirinya.

Stilasi bentuk kursi yang berada di atas awan mega mendungan mengartikan bahwa kursi adalah sebuah simbol kedudukan, jabatan, pangkat, status, dll. Tentunya dicapai dengan pendidikan atau ilmu yang dimiliki manusia. Ini adalah sebagai wadah sebuah ujian seberapa kuatkah manusia untuk menjalankan amanah yang berpedoman Norma dan nilai. Sehingga tetap sadar dan bertingkah laku yang baik dan benar. Sehingga bisa membawa dirinya ke jalan yang selamat di dunia dan akhirat. Semakain tinggi orang berilmu maka semakin besar pula godaannya. Hal ini pernah dirasakan baik dari cerita pewayangan maupun relaita di dunia ini.

Yang terakhir adalah Kepala Kala yang bersayap sebagai perwatakan sisi-sisi buruk manusia, kesuraman, keegoisme, kemegahan, dan visual ini pula sebagai kesatuan dari adigang, adigung, dan adiguna.

Penulis: Dv'anti Weasly

Sumber: http://tomoglasspainting.blogspot.co.id/2014/01/titik-kunta-awangga.html?m=1

0 comments:

:a: :b: :c: :d: :e: :f: :g: :h: :i: :j: :k: :l: :m: :n:

Post a Comment