HIDUP memang bukan soal nasib melulu. Jro Dalang Diah menghidupkan harapan warga Desa Nagasepaha, Buleleng, Bali, dengan selembar kaca. Lewat lukisan kaca, ia mewariskan kisah-kisah moral dalam wayang sekaligus memberi denyut ekonomi, yang jadi sumber penghidupan warga sampai kini.
Dua cucu Jro Dalang Diah, I Ketut Santosa (43) dan I Wayan Arnawa (43), tak bisa membayangkan andai kata kakek mereka dahulu tidak menciptakan lukisan kaca. Sejak zaman kakek buyut mereka yang bernama I Gede Wenten, kehidupan keluarga ini sepenuhnya ditopang oleh jalan kesenian. ”Kami sekeluarga sampai sekarang tidak punya sawah atau kebun untuk bertani,” kata Santosa. Ia mengibaratkan ”kebun” hidupnya ada pada selembar lukisan kaca, keahlian yang diwariskan kakeknya.
Menurut cerita Jro Dalang Diah (bernama asli I Ketut Negara, wafat pada usia 101 tahun), seperti yang dituturkannya kepada sastrawan I Made Adnyana Ole, ia belajar melukis, memahat, dan membuat bade (menara jenazah untuk upacara ngaben) dari ayahnya, I Gede Wenten. Wenten sekitar awal abad ke-20 dikenal sebagai pengukir dan pembuat bade di daerah Buleleng. ”Katanya, Jro Dalang Diah belajar secara tidak langsung dari ayahnya. Ia ikut dan melihat segala aktivitas kesenian ayahnya,” kata Ole.
Bedanya kemudian, jika Wenten menurunkan kreativitas seni kepada anak dan cucunya, Jro Dalang Diah mengajarkan teknik melukis kaca kepada siapa saja di Desa Nagasepaha. Bahkan, anak dan cucunya kemudian mengajarkan seni lukis kaca nagasepaha kepada murid-murid di sekolah atau sanggar kegiatan belajar di sekitar desanya. Sampai sekarang I Ketut Suamba (71), anak keempat Jro Dalang Diah, masih mengajar melukis kaca di sebuah sanggar kegiatan belajar di Nagasepaha. Santosa juga sedang mengajar di sebuah sekolah dasar untuk pelajaran ekstrakurikuler. ”Di sini ekskul sudah diisi dengan belajar melukis kaca,” kata Santosa.
Teknik melukis
Jro Dalang Diah memadukan teknik melukis Bali dengan melukis di atas kaca. Selain melukis dengan cara terbalik, melukis kaca nagasepaha dimulai dengan membuat sketsa di atas kertas, kemudian nyigar atau memindah sketsa ke atas kaca, nyawi (mengarsir bagian-bagian lukisan), memberi warna, dan terakhir menggambar latar. ”Bagian nyawi itu yang terpenting karena sangat menentukan gelap terang serta dimensi lukisan,” kata pengajar seni rupa Universitas Ganesha Singaraja, Polenk Rediasa.
Teknik melukis seperti ini, kata Polenk, sebenarnya sama dengan teknik melukis bali, sebagaimana yang dilakukan para pelukis bergaya Ubud. Cuma, karena memakai medium kaca, teknik melukis nagasepaha sedikit lebih rumit. ”Semuanya harus dibuat terbalik. Pekerjaan awal akan jadi bagian muka, jadi harus dihaluskan,” ujar Polenk. Berbeda dengan melukis di atas kanvas, di mana sentuhan terakhir yang menentukan selesainya sebuah lukisan.
Menurut Polenk, penemuan paling mutakhir dari Jro Dalang Diah, justru pada teknik melukis di atas kaca, yang pasti berbeda dengan teknik melukis kaca di Cirebon atau di Yogyakarta. Selain menggunakan media kaca, Jro Dalang Diah, juga menemukan tinta cina dan cat kayu merek tertentu, yang sesuai dengan kaca. Seluruh media itu sampai kini masih dipergunakan untuk membuat lukisan kaca.
Hal yang paling menarik, apa yang dikerjakan Jro Dalang Diah dalam memenuhi pesanan I Ketut Nitia untuk mencoba melukis wayang di atas kaca tahun 1927, kemudian menjadi pekerjaan yang disakralkan. Lukisan-lukisan pertama Jro Dalang Diah diperlakukan sebagai artefak sakral dan dipakai sebagai ornamen di pura. Kemungkinan itu bermula, menurut penulis seni rupa Hardiman, dari unsur penghayatan terhadap laku kesenian. Di Bali, kesenian hampir selalu dipandang dari perspektif yadnya (persembahan suci kepada Tuhan).
Pekerjaan seperti membuat bade atau mengukir pura adalah pekerjaan yang selalu bermuatan yadnya. ”Semuanya dilakukan dengan tulus ikhlas, tanpa pamrih. Tidak jarang mereka berpuasa sebelum menjalani laku kesenian,” kata Hardiman.
Sebelum melukis kaca, kata Santosa, Jro Dalang Diah, melukis kisah Ramayana di atas papan kayu. Lukisan Ramayana itu sampai kini masih dipergunakan sebagai dinding depan bale piasan di pura keluarga. Meski kondisi lukisannya sudah mengabur, tetapi tak satu pun keturunan Jro Dalang Diah berani melakukan restorasi. ”Itu disakralkan, kami tidak berani untuk sekadar melukis ulang,” kata Santosa.
Artefak sakral
Lukisan kaca karya Santosa dan pamannya, I Ketut Suamba, hingga kini juga ditemukan menjadi artefak sakral di pura keluarga. Di masa tahun 1980-an, menurut pengamatan Hardiman, banyak pura di sekitar Buleleng menggunakan lukisan kaca nagasepaha sebagai artefak sakral. ”Belakangan terjadi perubahan, di mana pura mulai menggunakan ukiran dari pasir hitam,” katanya.
Secara bersamaan lukisan kaca karya para seniman dari Desa Nagasepaha juga dijajakan di jalan-jalan. Bahkan pada tahun 1980-an hingga 1990-an, tidak jarang para pelukisnya sendiri berkeliling di kota-kota di Bali untuk menjual lukisan. Pada sisi itu, lukisan kaca nagasepaha seperti berkelas jalanan, termarjinalkan, jika tidak bisa disebut murahan. Mungkin disamakan kelasnya dengan lukisan pemandangan dari para seniman di Kampung Jelekong, Bandung.
Kini tak lagi ditemui para seniman menjajakan lukisan nagasepaha di jalan-jalan. Lukisan kaca seperti kembali menjadi milik keturunan Jro Dalang Diah. Di luar keluarga ini, masih ada beberapa pelukis yang mencoba bersetia pada kaca. Sebut misalnya nama-nama yang populer seperti I Kadek Suradi (35) dan I Ketut Samudrawan (40). Keduanya adalah seniman populer di luar keturunan langsung Jro Dalang Diah, yang kemudian mengembangkan tema-tema lukisan kaca. Suradi mencoba melakukan eksplorasi visual, yang menggambarkan tokoh-tokoh wayang dalam keadaan bergerak. Sementara Samudrawan membawa tokoh-tokoh wayang ke alam kehidupan masa kini. Misalnya ia melukiskan tokoh Hanoman mengendarai sepeda motor.
Penemuan Jro Dalang Diah, tentu saja tak sebatas teknik melukis di atas kaca, yang kemudian tumbuh menjadi sumber ekonomi warga Nagasepaha. Bagian terpenting dari itu, sebagai dalang ia telah menemukan medium kontemporer (kaca), untuk mengomunikasikan kisah-kisah moral dalam dunia pewayangan. ”Bagaimana bersikap ksatria, berani berkata jujur, tidak dengki, dan menjauhi perbuatan tercela, semuanya ada dalam kisah wayang,” kata Polenk Rediasa.
Di saat generasi kini mulai jauh dari seni pertunjukan wayang, karya lukisan kaca Jro Dalang Diah beserta para penerusnya menjadi warisan yang amat berharga. ”Karena kaca, kan, medium yang tidak asing di era kini. Bahkan kaca cermin, menjadi kebutuhan kita sehari-hari untuk melihat diri. Refleksi itulah yang ditumbuhkan oleh Jro Dalang,” tambah Polenk.
Barangkali ini pulalah yang mendasari kreativitas Santosa untuk menjajal medium kaca dalam bentuk berbeda. Ia tak lagi hanya melukis di atas kaca datar, tetapi sudah merambah mengerjakan benda-benda interior, seperti toples dan gelas atau hiasan apa pun yang terbuat dari kaca. ”Sedapat mungkin gambarnya wayang karena wayang ibarat cermin moral kita,” kata Santosa.
Kini memang tak banyak lagi yang berani melukis wayang di atas kaca. Dalam hitungan Santosa dan Arnawa, setidaknya sekitar 20 seniman masih melukis kaca dan menatah wayang di Desa Nagasepaha. ”Dulu mungkin sekitar 50 orang di tahun 1980-an,” katanya. Tetapi jumlah tidak menjadi perhitungan benar, di tengah kedalaman nilai yang ditanamkan ”leluhur” penemu lukisan wayang nagasepaha. Jro Dalang Diah telah menemukan medium kontemporer untuk terus-menerus mewariskan ajaran-ajaran hidup yang tak pernah habis digali dari kisah-kisah dunia pewayangan. (Putu Fajar Arcana)
Sumber: http://travel.kompas.com/read/2015/03/09/110211527/Cerita.dalam.Selembar.Lukisan.Kaca
0 comments:
Post a Comment