SENI LUKIS KACA : BELUM BUMING, TETAPI TELAH LAMA MEMBUMI
Pengawal kalam
Perihal tentang keberadaan seni lukis kaca
kembali mengusik pikiran penulis, ketika disuatu hari penulis
mendengarkan cerita seorang pelukis yang kebetulan kedatangan calon
pembeli atau mungkin pedagang lukisan dari kota bertandang ke
sanggarnya. Setelah melihat-lihat diruang pajang dirumahnya yang tidak
begitu luas, pembeli tadi kemudian menawar beberapa lukisan yang
terbuat dari media kanvas dan kertas untuk dibawa kekota. Setelah
terjadi tawar menawar, dan disetujui harganya, kemudian pelukis
tersebut juga menawarkan lukisan kaca karyanya. Rupanya, pelukis
tersebut selain membuat lukisan dari kanvas dan kertas, juga membuat
lukisan dari bahan kaca. Saat ditawari lukisan kaca, pembeli atau
pedagang tersebut menyatakan tidak begitu tertarik, karena menurutnya
tidak banyak yang orang mau mengkoleksi karya lukis kaca, dengan alasan
karena bahannya mudah dan rawan pecah, apalagi kalau pembelinya orang
asing, nantinya bisa kerepotan dalam perjalanannya walau secara visual
karya lukis kaca tidak kalah dengan media lainnya. Pelukis tadi
mengangguk-angguk, seperti orang bodoh-walaupun hatinya menolak, dengan
mengatakan justru yang bodoh adalah pembeli tersebut. Singkat cerita,
lukisan kaca tidak dibeli dan pembeli lukisan tersebut malah menyarankan
kepadanya, agar membuat lukisan dari kanvas saja dan tidak dari kaca.
Inilah sedikit gambaran kenyataan
pahit yang dirasakan pelukis kaca tersebut, kejadian menggelikan dan
terasa lucu tersebut kemungkinan hanya pernah berlaku pada satu dua
pelukis kaca ditanah air termasuk teman penulis tadi, walau pada
kenyataannya banyak juga pelukis kaca yang sampai hari ini tetap hidup
dengan sejahtera, dari hasil karya lukis kacanya tersebut, seperti
kesejahteraan hidup yang dialami para pelukis kaca didaerah Cirebon,
komunitas pelukis kaca Nagashepa di Buleleng Bali, juga pelukis kaca di
wilayah lain seperti di Jakarta, Bekasi, Cirebon, Semarang, Yogyakarta,
Magelang, Muntilan, Bantul, Surakarta, Kudus, Tuban, Madura, Pasuruan,
Surabaya dan mungkin di tempat-tempat lain. Di Sumatera lukisan kaca
juga tumbuh dengan baik, seperti dipraktekkan di Bengkulu (terutama
Tebat Monok, Keban Agung, dan Batu Bandung), Medan, Banda Aceh, dan
beberapa dan sebagainya.
Seni lukis kaca, diakui atau tidak,
sebenarnya telah menjadi sebuah kenyataan sejarah, yang lahir dan
merambah dibelahan dunia kita ini, taruhlah seperti berkembangnya lukis
kaca di Italia, daratan China, Jepang, Iran, India dan termasuk di
Indonesia. Sanento Yuliman pernah mencatat tentang tuanya sejarah seni
lukis kaca di dunia, ia menuturkan bahwa lempengan kaca pertama
ditemukan oleh orang Italia pada abad ke-14. Orang Italia ini pula yang
menemukan cat untuk media kaca. Berkat temuan tersebut kemudian lahirlah
karya-karya seni lukis kaca, yang berawal dari Italia kemudian
menyebar ke berbagai negeri. Sampai pada abad ke-17 atau abad ke-18
lukisan kaca diperkirakan menyebar ke Iran, India, Cina, Jepang, dan
kemudian ke Indonesia. Kenyataan sejarah inilah, yang menjadikan
“kekuatan” bagi para pelukis kaca untuk tetap bertahan hidup dari kaca
tersebut.
Di era zaman ini, dimana kesenian
sangatlah bebas bergandengan tangan dengan media ungkap apa saja tanpa
ada pembatasnya, sudah barang tentu dengan melihat kenyataan sejarah
diatas, sebenarnya media kaca tidaklah berkelas rendah seperti yang
dikatakan pembeli lukisan tersebut, justru diharapkan media kaca dapat
ikut dimanfaatkan oleh perupa modern untuk melengkapi rupa-rupa media
yang dewasa ini digarap oleh para kreator seni rupa. Artinya, sudah
saatnya seni lukis kaca tidak dianggap sebagai karya kerajinan, karya
yang “ndeso”.
Seni lukis kaca, telah lama membumi di Indonesia
Dari pembacaan sejarah, lukisan kaca belum
diketahui secara pasti kapan mulai masuk ke Indonesia dan dari mana
asal teknik melukis kaca, dan memang masih perlu diadakan penelitian
lebih jauh. Senada dengan pendapat Sanento Yuliman, adalah Hardiman
seorang peneliti lukisan kaca di Nagashepa, Bali juga mencatat
perjalanan lukis kaca, dikatakan bahwa menurut Jerome Samuel peneliti
dari Institut Nasional des Laungues et Civilisations Orientales, Paris,
yang pernah melakukan penelitian lukisan kaca di Indonesia,
memperkirakan bahwa lukisan kaca paling cepat masuk ke Indonesia pada
dasawarsa terakhir abad ke-19. Menurutnya, sampai paruh pertama abad
ke-19 kaca masih merupakan sejenis barang atau bahan yang mewah dan
sangat mahal, rasa mewah terhadap bahan kaca itu terjadi baik di
Indonesia maupun di Asia, termasuk Cina dan Jepang. Jeremo Samuel pernah
mencari data tentang kaca dalam arsip laporan tahunan VOC di Batavia,
untuk kantor pusat di Amsterdam. Di dalam laporan itu, terdapat beberapa
catatan tentang import barang-barang kaca dari Belanda atau Eropa untuk
dijual atau diberikan sebagai hadiah kepada raja-raja atau
sultan-sultan di Indonesia. Tapi VOC lebih banyak menjual atau memasok
kaca ke India, Cina, dan Jepang, Di Indonesia sendiri kaca tetap langka
sampai awal abad ke-20, kecuali untuk kalangan terbatas.
Di Jawa, menurut Jerome Samuel,
keberadaan lukisan kaca dapat dibuktikan dengan keikutsertaan Jat,
seorang pelukis dari Kupang Praupan, Surabaya, yang ikut serta dalam
Pasar Malam tahunan di Surabaya, baru pada tahun 1908. Keberadaan
tersebut diabadikan dalam foto laporan acara tersebut. Hardiman juga
menambahkan bahwa, ada cerita yang berbeda dengan Samuel, yaitu tentang
lukis kaca dari pantai Kuta, Bali. Tersebutlah seorang perempuan cantik
keturunan Cina. Perempuan nan jelita ini dinikahi laki-laki
berkebangsaan Denmark, Mads Lange. Suatu hari, tahun 1884, perempuan
cantik ini dilukis dia atas permukaan kaca oleh seorang pelukis Cina.
Kemudian hasil lukisan kaca itu, oleh berbagai kalangan dianggap sebagai
lukisan kaca pertama yang ditemukan di Indonesia. Kini lukisan tersebut
tersimpan di suatu museum di Denmark.
Sejarah lukisan kaca Indonesia,
sebagian besar masih tersembunyi. Tetapi pada kenyataannya lukisan kaca
di Jawa pernah mengalami masa jaya pada tahun 1930-an hingga akhir
1950-an adalah fakta yang kerap diungkap. Pada masa itu, lukisan kaca
bertalian dengan tanda status sosial tertentu. Pemilik lukisan kaca
adalah mereka yang sukses berdagang, telah naik haji, atau
sekurang-kurangnya telah menikah. Lukisan kaca juga berfungsi sebagai
penguat hubungan batin antara pemilik lukisan kaca dengan tokoh wayang
dalam lukisan yang dimilikinya. Perlu diketahui tema-tema lukisan kaca
yang dikoleksi oleh para orang kaya di Jawa, pada umumnya lukisan
Hanoman, Kresna, Bratasena, Semar dan sebagian yang lain tema lukisan
diambil dari cerita Ramayana dan Mahabarata. Selain itu juga ditemukan
lukisan berupa dua pengantin, legenda para Nabi, lukisan masjid Demak,
kaligrafi Arabeska dan sebagainya.
Dengan tema-tema tersebut lukisan kaca
dapat berkembang dengan baik sampai tahun 50-an. Keberlanjutan tema
yang disukai masyarakat masih baik, sampai awal tahun 70-an. Mulai tahun
70-an muncul nama-nama pelukis kaca yang cukup dikenal masyarakat,
seperti Karto, Sastradiharjo ( Sastra Gambar ), Maryono, Yazid, Maruna,
Sudarga, Harun, Rastika dan sebagainya. Selain itu, belakangan muncul
nama yang berasal dari kalangan kampus seni juga muncul, seperti Haryadi
Suadi, Suatmaji, AB Dwiantoro, Arwin Hidayat, Ismoyo, Supono,
Paikun,mahyar, Murjiyanto, Pracoyo, Priyo Sigit, Rohman, Subari dan
sebagainya, yang terus ikut menyemarakkan seni lukis kaca sampai jelang
tahun 90-an.
Sementara perkembangan seni lukis kaca
di Bali, juga kurang lebih sama seperti didaerah lain di Indonesia. Di
Bali seni lukis kaca dapat dilacak keberadaannya di wilayah Buleleng,
tepatnya di Desa Nagashepa. Dari sana lahir nama-nama besar pelukis kaca
seperti Jro Dalang Diah ( pendiri komunitas pelukis kaca Nagashepa), I
Kadek Suradi, I Nengah Silib, I Ketut Samudrawan, dan I Ketut Santosa
dan sebagainya. Dari aspek kenyataan sejarah inilah lukis kaca berjalan
kearah waktu kedepan tiada henti dengan kekuatannya sendiri. Hardiman
menuliskan tentang kekuatan lukisan kaca dengan bernas sebagai berikut;
Seni lukis kaca adalah benda yang menyimpan muatan hubungan manusia
dengan Tuhan. Ia adalah media tentang bagaimana menjalani kehidupan yang
benar. Ia adalah refleksi kehidupan manusia. Tegasnya, ia adalah teks
budaya kita hari ini. Ia adalah bening. Walaupun, seni lukis kaca yang
bening secara fisik dan, terutama, bening secara muatan itu, sampai kini
masih belum dianggap berkelas tinggi dan tetap termarjinalkan. Jauh
dari pisau-pisau analisis para ktitikus seni, jauh dari gembar-gembor
media masa. Jauh dari genggaman para kolektor kakap. Jauh dari
angka-angka di Balai Lelang. Lukisan kaca, sekalipun bening, tetap
hening. Ia kesepian di tengah-tengah gemuruhnya pasar wacana dan wacana
pasar, tetapi tetap hidup membumi walau tidak gemuruh.
Sumber :
- Yudhoseputro, Wiyoso ,1986– Pengantar Seni Rupa islam Nusantara, Angkasa Bandung
- Hermanu, 2006 – Mengenang Tjitro Waloejo, Katalog Bentara Budaya Yogjakarta
- ________ 2000 – Pameran Lukis Kaca, Taman Budaya Yogjakarta
- ________ 1987 – Melukis Dalam Kaca, Editor No.11/ tahun I
- Benny Bunke, 2004- Interpretasi Baru Seni Lukis Kaca, Suara Pembaruan
pintu.Mati@gmail.com.
0 comments:
Post a Comment