Bertemu mereka adalah bertemu dengan sejumlah riwayat hidup yang sederhana dan mengesankan, jauh dari keangkuan apalagi merasa diri hero. Sementara kita, di dalam panggung kehidupan yang modern, yang sibuk, penuh kompetisi, seringkali menjadi ribet dan rumit, penuh prasangka bahkan intrik, serta tercengkeram oleh orientasi material (uang)
Pameran Lukisan Kaca, Galeri Seni Institut Seni Indonesia Yogyakarta, November 2012, foto: herjaka
Rastika, Bebarik (2012), ukuran: 55 cm x 122 cm
Di jagad senirupa khususnya, lukisan kaca, Kota Cirebon tidak bisa luput disebut. Karena di kota tersebut tinggal tokoh lukis kaca yang namanya ‘melegenda’ yaitu Rastika, di Dusun Gegesik Kulon. Walaupun Rastika termasuk salah seorang yang mengharumkan nama Cirebon, menurut pengakuannya, pemerintah daerah Cirebon selama ini tak pernah memberikan perhatian dalam bentuk apapun.
Meski Pemda setempat mengabaikannya, Rastika tak berkecil hati, karena banyak pihak mengapresiasi karya-karyanya dengan cukup baik, sehingga kebanggaan masih bisa ia peroleh. Seperti kebanggaan tahun ini, Rastika bersama 9 seniman di Indonesia menerima penghargaan dari Bentara Budaya Award.
Diantara pihak-pihak yang peduli dan mengapresiasi karya-karya Rastika, ada nama Haryadi Soeadi, seorang pelukis dan juga dosen senirupa FSRD ITB yang dianggap sangat berjasa, karena telah memicu semangatnya untuk kembali percaya diri menjadi pelukis kaca. Selain Haryadi Soeadi, disebut pula nama Joop Ave, Menteri Pariwisata waktu itu yang pernah datang di rumahnya. Joop Ave menugasi Rastika membuat lukisan kaca pada salah satu anjungan Taman Mini Indonesia Indah. Order ini sangat membanggakan dan menambah semangatnya berkarya.
Rastika tinggal di rumah sederhana bersama Kusdana, anak lelakinya nomor empat yang menggunakan kursi roda karena lumpuh. Kusdana inilah satu-satunya anak Rastika yang menjadi penerus sebagai pelukis kaca.
Rastika sadar bahwa lukisan kaca merupakan tumpuan hidupnya. Meski tidak dapat diandalkan untuk mensejahterakan keluarganya, Rastika setia dan tidak berpaling dari profesinya sebagai pelukis kaca. Hingga tahun 2012 ini, pria kelahiran 1942, dengan dibantu oleh Kusdana anaknya, terutama bagian detail, Rastika masih melukis kaca.
Pameran Lukisan Kaca, Galeri Seni Institut Seni Indonesia Yogyakarta, November 2012, foto: herjaka
I Made Wijaya, Rebutan Jabatan (2012), ukuran: 50 cm x 60 cm;
Katura, Wong Nutu (2009) ukuran: 34 cm x 44 cm
Sebagian dari karya-karya Rastika dipamerkan di Galeri Seni Institut Seni Indonesia Yogyakarta pada 19 sampai dengan 24 November 2012, yang dibuka oleh Prof. Dr. Hermien Kusmayati S.S.T.,S.U, Rektor Isi Yogyakarta.
Karya dipamerkan bersama dengan karya pelukis kaca yang lain, dari Tulungagung, Bali dan Yogyakarta, yaitu: Katura dari Cirebon, Tan Yu Hwi dan Maryoko dari Tulungagung, I Ketut Soamba, I Ketut Santosa, I Kadek Suradi, I Made Sukrawa, I Wayan Arnawa, I Made Wijana dari Nagasepaha, Buleleng, Singaraja Bali dan siswa-siswi dari SD Negeri 1 Nagasepaha dan SMP Negeri 3 Sukasada Buleleng Singaraja Bali yang terdiri dari: Ni Ketut Sujeni, Ni Ketut Susiani, I Nyoman Yukima Ugrasena, Luh Eni Cita Rahayu, Gede Widiarta, I Nyoman Agus Sumertayasa, Putu Diva Indrawan, dan I Komang Ginantara. Pelukis kaca dari Yogyakarta terdiri dari: Sulasno, Drs. Subandi Giyanto, dan Wiyadi.
Pameran Lukisan Kaca Jawa-Bali ini diselenggarakan oleh Forum Komunikasi Seni ISI Yogyakarta yang terdiri dari sebuah tim kecil terdiri dari Drs. Hartono Karnadi M.Sn., Lutse Lambert Daniel Morin, S.Sn., M.Sn. dan Suwarno Wisetrotomo yang dipimpin oleh Dr. Edi Sunaryo, M.Sn., selaku Ketua Forum Komunikasi Seni dan sekaligus ketua panitia pameran. Sebelum pameran digelar, tim kecil tersebut melakukan perjalanan ke Cirebon, Tulungagung, Yogyakarta dan Singaraja-Bali, untuk berbincang-bincang dan menggundang sejumlah pelukis kaca untuk menggelar karyanya.
Pameran Lukisan Kaca, Galeri Seni Institut Seni Indonesia Yogyakarta, November 2012, foto: herjaka
Sulasno, Syeh Dumbo (1993), ukuran 61 cm x 75 cm
Sepenggal catatan perjalanan yang ditulis pada katalog pameran oleh Suwarno Wisetrotomo adalah sebagai: Bertemu mereka adalah bertemu dengan sejumlah riwayat hidup yang sederhana dan mengesankan, jauh dari keangkuan apalagi merasa diri hero. Sementara kita, di dalam panggung kehidupan yang modern, yang sibuk, penuh kompetisi, seringkali menjadi ribet dan rumit, penuh prasangka bahkan intrik, serta tercengkeram oleh orientasi material (uang). Tanpa sadar (atau sangat sadar) menjelma menjadi manusia yang rakus. Para pelukis kaca ini nadinya disangga oleh ketrampilan dan kerja kerasnya melukis dengan penuh risiko (rumit, berusaha hati-hati agar tak pecah) serta menemukan pasar (baca: pembeli). Harga karya-karya mereka sangat masuk akal; karena pertimbangan kerumitan gambar dan ukuran.
Lukisan kaca berfungsi juga menjadi kaca kehidupan; baik bagi pelukisnya maupun bagi penonton atau penggemarnya. Rastika terus menyuarakan nilai-nilai ketokohan, nilai-nilai keberpihakan; Sulasno terus menyuarakan kembali kisah-kisah hero, mitos, legenda; Wiyadi terus-menerus memvisualisasikan nilai-nilai lokal seperti wuku; Subandi Giyanto berupaya melancarkan kritik sosial politik lucu; Ketut Soamba selalu tertarik dengan nilai-nilai dalam Bagawat Gita, Ramayana, atau Mahabarata; Ketut Santosa terus merekam dan menggambarkan segala bentuk dan masalah sosial seperti terorisme, korupsi dan persoalan kehidupan sosial.
Lukisan kaca yang rumit dengan beragam gambar itu terasa menjadi cermin indah dan “kaca benggala” yang menumbuhkan sikap reflektif. Lukisan kaca adalah cermin pelukis kaca, dan lebih dari itu adalah cermin masyarakat dalam hal memandang serta memahami realitas kehidupan.
‘Berkaca Pada Lukisan Kaca’, demikianlah tajuk dari pameran.
Pameran Lukisan Kaca, Galeri Seni Institut Seni Indonesia Yogyakarta, November 2012, foto: herjaka
Sumber: http://tembi.net/peristiwa-budaya/berkacalah-pada-lukisan-kaca
0 comments:
Post a Comment